Kabarpenanusantara.web.id
Bogor – Perayaan Hari Jadi Bogor (HJB) ke-543 kembali digelar dengan penuh kemeriahan, dengan berbagai rangkaian acara yang mengangkat seni, budaya, dan semangat gotong royong. Salah satu agenda yang paling dinantikan masyarakat adalah Pagelaran Wayang Golek Rakyat yang berlangsung di GOR Pakansari, Cibinong, Sabtu malam (14/6/2025).
Namun di balik sorotan lampu panggung dan lantunan gamelan yang mengiringi wayang golek, terselip kisah pahit yang dirasakan oleh sebagian warga Kabupaten Bogor. Acara yang diklaim sebagai ‘untuk rakyat’ justru menyisakan luka sosial karena ketimpangan perlakuan antara pejabat dan masyarakat biasa.
Sejak sore hari, tenda-tenda di lokasi acara mulai dipadati oleh masyarakat dari berbagai penjuru, termasuk dari wilayah-wilayah pelosok seperti Jasinga, hingga Leuwiliang. Mereka datang dengan semangat tinggi untuk menyaksikan seni wayang golek sebagai bagian dari warisan budaya Sunda yang semakin jarang tampil di ruang publik.
Namun, ketika sebagian warga telah duduk rapi di area tenda acara, datanglah oknum panitia yang mengusir mereka dari tempat duduk dengan alasan bahwa kursi tersebut telah disiapkan khusus untuk tamu undangan dan pejabat.
Ironisnya, hingga pertunjukan dimulai dan berlangsung lebih dari satu jam, deretan kursi tersebut tetap kosong.
Seorang warga dari Jasinga, yang datang bersama orang tuanya yang lanjut usia, mengaku **terluka secara batin**. “Kami datang jauh-jauh, bukan untuk bikin rusuh, tapi ingin menikmati budaya kami sendiri. Tapi kenapa kami malah dianggap seperti pengganggu?”
Ia juga menyinggung anggaran pelaksanaan acara HJB yang pasti tidak sedikit, dan kemungkinan besar berasal dari dana APBD—yang notabene berasal dari uang rakyat.
Pemandangan bangku VIP kosong menjadi simbol ironis dari perayaan rakyat yang justru tidak berpihak pada rakyat. Alih-alih duduk nyaman bersama-sama, sebagian besar masyarakat harus berdiri di luar tenda, berdesakan, sementara tempat duduk terbaik dibiarkan tak tersentuh.
“Lebih baik tidak perlu ada sekat antara rakyat dan pejabat dalam acara rakyat seperti ini. Karena esensi dari perayaan daerah adalah menyatukan, bukan memisahkan,” ungkap seorang tokoh pemuda Bogor Timur yang turut hadir malam itu.
Masyarakat berharap Bupati Bogor, Rudy Susmanto selaku kepala daerah yang baru, tidak tinggal diam. Evaluasi terhadap panitia penyelenggara dianggap penting untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang dalam acara-acara lain.
“Ini bukan hanya tentang tempat duduk, tapi tentang rasa keadilan dan harga diri sebagai warga Bogor,” ujar seorang ibu dari Citeureup yang kecewa namun tetap menonton dari kejauhan.
Dalam konteks kepemimpinan yang mengutamakan nilai-nilai partisipatif, kehadiran rakyat dalam acara seni dan budaya seharusnya diperlakukan sebagai bentuk penghormatan, bukan sekadar angka dalam laporan kegiatan. Kejadian ini menjadi pelajaran besar bahwa penghormatan terhadap rakyat tidak bisa ditukar dengan dekorasi megah atau panggung besar, melainkan hadir dalam bentuk perlakuan yang setara dan adil.
(Tim)


Posting Komentar